"when skill meet power..."

WeLCoMe to My RooM.......


Welcome... SelamaT DatanG... Sugeng Rawuh... 谢谢... 감사... Semoga BermanfaaT...

Perekonomian Indonesia

PEREKONOMIAN ERA ORDE LAMA

Masa Pasca Kemerdekaan (1945-1950)

Keadaan ekonomi keuangan pada masa awal kemerdekaan amat buruk, antara lain disebabkan oleh :
  1. Inflasi yang sangat tinggi, disebabkan karena beredarnya lebih dari satu mata uang secara tidak terkendali. Pada waktu itu, untuk sementara waktu pemerintah RI menyatakan tiga mata uang yang berlaku di wilayah RI, yaitu mata uang De Javasche Bank, mata uang pemerintah Hindia Belanda, dan mata uang pendudukan Jepang. Kemudian pada tanggal 6 Maret 1946, Panglima AFNEI (Allied Forces for Netherlands East Indies/pasukan sekutu) mengumumkan berlakunya uang NICA di daerah-daerah yang dikuasai sekutu. Pada bulan Oktober 1946, pemerintah RI juga mengeluarkan uang kertas baru, yaitu ORI (Oeang Republik Indonesia) sebagai pengganti uang Jepang. Berdasarkan teori moneter, banyaknya jumlah uang yang beredar mempengaruhi kenaikan tingkat harga.
  2. Adanya blokade ekonomi oleh Belanda sejak bulan November 1945 untuk menutup pintu perdagangan luar negri RI.
  3. Kas negara kosong.
  4. Eksploitasi besar-besaran di masa penjajahan.
Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi kesulitan-kesulitan ekonomi, antara lain :
  • Program Pinjaman Nasional dilaksanakan oleh menteri keuangan Ir. Surachman dengan persetujuan BP-KNIP, dilakukan pada bulan Juli 1946.
  • Upaya menembus blokade dengan diplomasi beras ke India, mangadakan kontak dengan perusahaan swasta Amerika, dan menembus blokade Belanda di Sumatera dengan tujuan ke Singapura dan Malaysia.
  • Konferensi Ekonomi Februari 1946 dengan tujuan untuk memperoleh kesepakatan yang bulat dalam menanggulangi masalah-masalah ekonomi yang mendesak, yaitu : masalah produksi dan distribusi makanan, masalah sandang, serta status dan administrasi perkebunan-perkebunan.
  • Pembentukan Planning Board (Badan Perancang Ekonomi) 19 Januari 1947 Rekonstruksi dan Rasionalisasi Angkatan Perang (Rera) 1948 >>mengalihkan tenaga bekas angkatan perang ke bidang-bidang produktif. Kasimo Plan yang intinya mengenai usaha swasembada pangan dengan beberapa petunjuk pelaksanaan yang praktis. Dengan swasembada pangan, diharapkan perekonomian akan membaik (Mazhab Fisiokrat : sektor pertanian merupakan sumber kekayaan).

Masa Demokrasi Liberal (1950-1957)
Masa ini disebut masa liberal, karena dalam politik maupun sistem ekonominya menggunakan prinsip-prinsip liberal. Perekonomian diserahkan pada pasar sesuai teori-teori mazhab klasik yang menyatakan laissez faire laissez passer. Padahal pengusaha pribumi masih lemah dan belum bisa bersaing dengan pengusaha nonpribumi, terutama pengusaha Cina. Pada akhirnya sistem ini hanya memperburuk kondisi perekonomian Indonesia yang baru merdeka.
Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi masalah ekonomi, antara lain :
a)Gunting Syarifuddin, yaitu pemotongan nilai uang (sanering) 20 Maret 1950, untuk mengurangi jumlah uang yang beredar agar tingkat harga turun.
b)Program Benteng (Kabinet Natsir), yaitu upaya menunbuhkan wiraswastawan pribumi dan mendorong importir nasional agar bisa bersaing dengan perusahaan impor asing dengan membatasi impor barang tertentu dan memberikan lisensi impornya hanya pada importir pribumi serta memberikan kredit pada perusahaan-perusahaan pribumi agar nantinya dapat berpartisipasi dalam perkembangan ekonomi nasional. Namun usaha ini gagal, karena sifat pengusaha pribumi yang cenderung konsumtif dan tak bisa bersaing dengan pengusaha non-pribumi.
c)Nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia pada 15 Desember 1951 lewat UU no.24 th 1951 dengan fungsi sebagai bank sentral dan bank sirkulasi.
d)Sistem ekonomi Ali-Baba (kabinet Ali Sastroamijoyo I) yang diprakarsai Mr Iskak Cokrohadisuryo, yaitu penggalangan kerjasama antara pengusaha cina dan pengusaha pribumi. Pengusaha non-pribumi diwajibkan memberikan latihan-latihan pada pengusaha pribumi, dan pemerintah menyediakan kredit dan lisensi bagi usaha-usaha swasta nasional. Program ini tidak berjalan dengan baik, karena pengusaha pribumi kurang berpengalaman, sehingga hanya dijadikan alat untuk mendapatkan bantuan kredit dari pemerintah.
e)Pembatalan sepihak atas hasil-hasil KMB, termasuk pembubaran Uni Indonesia-Belanda. Akibatnya banyak pengusaha Belanda yang menjual perusahaannya sedangkan pengusaha-pengusaha pribumi belum bisa mengambil alih perusahaan-perusahaan tersebut.

Kita mau menjadi satu Bangsa yang bebas Merdeka, berdaulat penuh, bermasyarakat adil makmur, satu Bangsa Besar yang Hanyakrawati, gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kertaraharja, otot kawat balung wesi, ora tedas tapak palune pande, ora tedas gurindo.
(Pidato Presiden RI Sukarno tanggal 17 Agustus 1963)

Meskipun pemerintah kolonial belanda mengakui kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia dalam konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1949, namun tidak bisa ditutupi kenyataan bahwa hasil-hasil KMB banyak menguntungkan kepentingan ekonomi Belanda. Setidaknya untuk menopang perekonomian negeri Belanda yang masih carut-marut paska perang dunia ke II, pemerintah Belanda memandang penting mempertahankan perusahaan-perusahaanya di Indonesia. Indonesia tetap amat penting bagi ekonomi Belanda. Hal ini tercermin dari suatu perkiraan resmi Belanda yang mengungkapkan bahwa pada tahun 1950 penghasilan total Belanda yang diperoleh dari hubungan ekonomi dengan Indonesia (ekspor ke Indonesia, pengolahan bahan-bahan mentah, penghasilan dari penanaman modal di Indonesia, transfer uang pensiun dan tabungan, dan lain-lain) merupakan 7,8 persen dari pendapatan nasional Belanda.

Tahun-tahun berikutnya, sampai tahun 1957, sewaktu semua perusahaan Belanda diambil alih oleh pekerja, angka persentase ini adalah: 8,2 persen (1951); 7,0 persen (1952); 5,8 persen (1953); 4,6 persen (1954); 4,1 persen (1955); 3,3 persen (1956); dan 2,9 persen (1957). (Meier 1994: 649). Di sisi lain, beberapa tokoh Indonesia -terutama Moh.Hatta yang memimpin delegasi Indonesia- menganggap bahwa apapun hasil KMB tetap harus diterima. Menurut mereka yang paling penting, Belanda menarik kekuatan militernya dan menghargai kedaulatan politik Indonesia. Beberapa kelompok kiri -terutama yang berbasiskan serikat pekerja- menganggap bahwa eksistensi perusahaan-perusaan Belanda di Indonesia, selain melakukan penindasan langsung terhadap pekerja Indonesia dengan politik upah murah, juga merupakan perwujudan masih bercokolnya neokolonialisme di Indonesia. Menghadapi ”watak kolonial” yang masih bercokol terutama di lapangan ekonomi, pemerintah berupaya mengambil langkah untuk menyelamatkan sektor yang dianggap strategis, terutama perbankan.

Pada tahun 1953, dilakukan nasionalisasi terhadap Bank Java dan kemudian namanya berubah menjadi ”Bank Indonesia”. Serta membentuk dua Financial Bank yaitu: Bank Industri Negara (BIN) yang akan membiayai proyek-proyek indutri; dan Bank Negara Indonesia (BNI) yang menyediakan foreign-exchange sekaligus membiayai kegiatan impor. Di samping itu, karena desakan kaum kiri dan nasionalis, kabinet Wilopo akhirnya melakukan nasionalisasi terhadap perusahaan listrik dan penerbangan . Tindakan nasionalisasi ini semakin berkembang luas karena di dorong oleh mobilisasi kaum pekerja yang dipimpin SOBSI. Beberapa perusahaan belanda yang berhasil dinasionalisasi kemudian dikelola dengan sistem Self-Management. Langkah pemerintah berikutnya adalah mengamankan usaha-usaha yang menyangkut harkat hidup orang banyak, seperti: balai gadai, beberapa wilayah pertanian yang penting, pos, telepon, listrik, pelabuhan, pertambangan batu bara dan rel kereta. Selanjutnya pemerintah membiayai perusahan negara melalui BIN di sektor produksi semen, tekstil, perakitan mobil, gelas, dan botol. Langkah terakhir pemerintah adalah berusaha memutuskan kontrol Belanda dalam bidang perdagangan ekspor-impor dengan mendirikan Pusat Perusahaan Perdagangan pada tahun 1948 untuk mengekspor produk pertanian Indonesia. Pemerintah juga mendirikan USINDO pada tahun 1956 untuk mengekspor industri manufaktur -yang dibiayai oleh BIN- dan mengimpor bahan mentah untuk keperluan industri mereka.

Semua langkah intervensi pemerintah dalam bidang ekonomi ini ditujukan untuk membangun infrastruktur bagi perkembangan kelas kapitalis dalam negeri. Program Sumitro Djojohadikusumo menggambarkan dengan jelas maksud dari rencana ini. Dimulai pada tahun 1951, BIN mengucurkan dana sebesar Rp 160 juta untuk membiayai proyek-proyek industri. Berbagai macam industri termasuk pengolahan karet, semen, tekstil didirikan. Pemerintah menguasai kepemilikan serta manajemennya. Namun pemilik modal dalam negeri tidak mampu memobilisir modal mereka untuk menjadi partner dalam industri-industri tersebut dan juga tak mampu menemukan usaha lain yang lebih menguntungkan.

Beberapa perusahan yang dibeli atau didirikan oleh pemerintah adalah Indonesia Service Company -perusahan milik pemerintah yang membeli General Motor; di Tanjung Priok mendirikan PT. PELNI. Upaya Pemerintah Indonesia untuk mengembangkan sektor industri manufaktur modern yang dikuasai dan dikendalikan oleh orang Indonesia sendiri dimulai dengan Rencana Urgensi Ekonomi yang bertujuan mendirikan berbagai industri skala besar. Menurut rencana ini, pembangunan industri-industri akan dibiayai dulu oleh pemerintah kemudian akan diserahkan kepada pihak swasta Indonesia, koperasi, atau dikelola sebagai usaha patungan antara pihak swasta nasional dan Pemerintah Indonesia. (Anspach 1969: 163) Untuk memperkuat perlawanan terhadap imperialisme, dan disisi lain memperkuat kemandirian ekonomi nasional, maka pada tahun 1950 pemerintah Soekarno mendeklarasikan poros kekuatan ekonomi baru yakni gerakan Banteng. Program ini memiliki tujuan utama untuk membangkitkan industri nasional terutama yang berbasiskan kepemilikan pribumi dan menempatkan sektor ekonomi yang vital, seperti perdagangan dan impor dibawah pengendalian negara.

Tujuan mulia program Banteng ternyata berbeda dalam prakteknya, borjuasi nasional Indonesia yang terdiri dari kaum priyayi dalam partai-partai berkuasa -seperti PNI dan Masyumi- tidak memiliki kapasitas borjuisme yang cukup. Pada prakteknya muncul kelompok-kelompok pengusaha pribumi yang menyalahgunakan lisensi ini: dengan menjualnya kepada pengusaha asing, terutama pengusaha-pengusaha cina. Pengusaha-pengusaha pribumi “dadakan” tersebut sama sekali tidak memiliki bekal kemampuan usaha yang memadai. Akhirnya mereka hanya “menyewakan” lisensi yang mereka punyai tersebut kepada pengusaha-pengusaha swasta lainnya, yang umumnya berasal dari pengusaha keturunan Cina. Praktek kongkalingkong ini lah yang melahirkan istilah Ali-Baba. Si Ali yang memiliki lisensi dan si Baba yang memiliki uang untuk memodalkerjai lisensi tersebut. Hampir seluruh program ekonomi pemerintahan Soekarno kandas di tengah jalan. Penyebabnya adalah:
(1) Situasi politik yang diwarnai manuver dan sabotase, terutama dari kelompok-kelompok kanan (masyumi, PSI, dan tentara-AD) yang tidak menghendaki kemandirian ekonomi nasional. Pemberontakan PRRI/Permesta dan kekacauan-kekacauan keamanan di daerah sengaja dilakukan panglima-panglima tentara untuk memblokir kebijakan ekonomi Soekarno serta mengakumulasi sentimen anti-pemerintah pusat. Bahkan kenyataan menunjukkan bahwa jenderal-jenderal tersebut memanfaatkan situasi ini untuk terlibat dalam perdagangan gelap, penyelundupan, dan lain-lain.
(2) Pertarungan kekuasaan antar elit politik di tingkat nasional -yang berakibat jatuh-bangunnya kabinet- tidak memberikan kesempatan kepada Soekarno dan kabinetnya untuk teguh menjalankan kebijakan-kebijakan tersebut.
(3) Yang paling pokok: borjuasi dalam negeri (pribumi) yang diharapkan menjadi kekuatan pokok dalam mendorong industrialisasi dan kegiatan perekonomian justru tidak memiliki basis borjuis yang tangguh. Mereka tidak ubahnya bagai “calo” yang memperdagangkan lisensi. Kendati berkali-kali mengalami kegagalan, Soekarno kemudian menekankan bahwa haluan ekonomi baru ini hanya akan berhasil dengan dukungan massa rakyat. Dalam usaha memassifkan dukungan rakyat, Soekarno berpropaganda tentang Trisakti: Berdikari di bidang ekonomi; Berdaulat di bidang politik; dan Berkepribadian dalam budaya. Kemudian pada Peringatan 17 Agustus 1959, Soekarno berpidato tentang Penemuan Kembali Revolusi Kita, yang terkenal sebagai Manifesto Politik Republik Indonesia (Manipol).

Dalam pidato tersebut, secara garis besar, Soekarno mencanangkan dilaksanakannya sistem Demokrasi Terpimpin. Pada intinya manipol terdiri atas lima hal pokok, yaitu: UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia yang disingkat USDEK. Sejak saat itu, setiap gerak dan langkah seluruh komponen bangsa Indonesia diharuskan berdasar pada Manipol-USDEK. Oleh karena itu, sistem ekonomi terpimpin menuntut seluruh unsur perekonomian Indonesia menjadi alat revolusi.

Dalam ekonomi terpimpin, kegiatan perekonomian ditekankan pada konsepsi gotong royong dan kekeluargaan sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 33 UUD 1945. Dalam perkembangan selanjutnya, kegiatan ekonomi pada masa terpimpin juga dilandaskan atas strategi dasar ekonomi Indonesia yang diamanatkan dalam Deklarasi Ekonomi (DEKON) oleh Presiden Soekarno pada tanggal 28 Maret 1963. Dalam pidato yang berjudul “Banting Stir untuk Berdikari” di depan sidang umum MPRS tanggal 11 April 1965, Soekarno menyerukan kepada seluruh kekuatan pokok revolusi: buruh, petani, mahasiswa progresif, perempuan, termasuk etnis tionghoa untuk memperbesar kekuatan ekonomi Indonesia agar lepas dari kepentingan asing. Sangat jelas bahwa Indonesia pernah punya sejarah panjang dalam melakukan pergulatan membangun haluan ekonomi baru, yaitu berdikari untuk melepaskan diri dari belenggu untuk kolonialisme.


PEREKONOMIAN ERA ORDE BARU
SOEHARTO
Awal Orde Baru
Dilihat dari sejarah pada masa peralihan dari Soekarno ke Soeharto, sesungguhnya Orde Baru adalah pemerintahan yang membalikkan arah kebijakan Indonesia dari posisi independen terhadap kapitalisme global (ingat slogan “Berdiri Diatas Kaki Sendiri/Berdikari”) menjadi sepenuhnya masuk dan mendukung kapitalisme barat.

Segera setelah Soeharto berkuasa, dengan didukung oleh ekonom-ekonom pro-barat, ia mencanangkan arah baru kebijakan politik-ekonomi Indonesia dengan berpegang pada pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan investasi asing.

Jeffrey Winters (1996) mencatat sebuah pertemuan tertutup di Jakarta dan Washington D.C., antara ekonom-ekonom Orde Baru dengan pimpinan perusahaan-perusahaan raksasa asing. Pada pertemuan itulah sumber-sumber daya alam Indonesia dibagi sektor demi sektor. Hasilnya, Freeport mendapatkan ‘gunung emas dan tembaga’ di Papua, sebuah konsorsium Amerika Serikat (AS) dan Eropa mendapatkan tambang nikel di Papua, Alcoa memperoleh tambang bauksit, kelompok perusahaan-perusahaan AS, Jepang dan Perancis memperoleh hak pengusahaan hutan-hutan tropis di Sumatera, Papua dan Kalimantan.
Pertemuan itu adalah awal dari ‘pembangunan ekonomi’ Indonesia, sekaligus memulai penguasaan asing terhadap sumber-sumber daya nasional yang selama pemerintahan Soekarno diproteksi.

Masa Industrialisasi
Setelah itu, masa pembangunan ekonomi memasuki tahap industrialisasi. Pada tahap ini, Indonesia sebenarnya masih menganut kebijakan prokteksionis yang ketika itu mendominasi politik-ekonomi global. Berbagai sektor mendapatkan fasilitas-fasilitas dengan tujuan melindungi mereka dari persaingan global yang tak seimbang. Hal ini, tentu saja, tidak salah.

Namun demikian, kebijakan industrial itu tidak dilaksanakan dengan sepenuhnya memerhatikan sisi profitabilitas dan keunggulan komparatif untuk membangun fondasi industri yang kuat. Fasilitas dan proteksi itu malah digunakan untuk memperkaya kroni-kroni Soeharto dan kemudian anak-anaknya.

Akhirnya, sektor-sektor yang sesungguhnya tidak menguntungkan justru mendapat fasilitas asalkan dapat melayani kepentingan kalangan dekat keluarga Cendana. Fasilitas itu pun tak diberikan kepada orang-orang yang sungguh-sungguh memiliki entrepreneurship (kewirausahaan), sehingga sektor-sektor industri dikuasai oleh para jago kandang yang menikmati keuntungan dari fasilitas dan proteksi pemerintah tanpa berniat untuk meletakkan fondasi yang kuat bagi sektor industri Indonesia.

Pada masa industrialisasi itulah, apa yang disebut sebagai crony-capitalism (kapitalisme perkoncoan) dimulai. Sebagaimana dapat dilihat pada tabel di bawah, hampir seluruh sektor industri utama; semen, otomotif, agribisnis, kayu, properti, perbankan dan lain-lain, dikuasi oleh kroni dan anak-anak Soeharto.

Masa Liberalisasi dan Krisis
Tabel di atas memperlihatkan sektor-sektor usaha yang dikuasai kroni-kroni Soeharto dengan kepemilikan silang pada bank-bank yang dimiliki mereka. Bank-bank itu dalam praktiknya tidak sepenuhnya berfungsi sebagai lembaga perantara (intermediasi) keuangan, melainkan menjadi ‘mesin uang’ dengan menggunakan dana masyarakat yang dihimpunnya untuk disuntikkan ke dalam perusahaan yang tergabung dalam kelompok usahanya.

Seiring dengan liberalisasi di sektor keuangan yang membuat perekonomian Indonesia menjadi rapuh dan mudah digoyang oleh shock kapitalisme global, maka praktik perbankan yang tak sehat itu akhirnya membawa bencana yang memicu krisis ekonomi Indonesia dan membawa kejatuhan bagi rejim Orde Baru.

Hancurnya sektor perbankan dimulai dengan krisis kepercayaan ketika ditutupnya 16 bank secara bersamaan pada 1 November 1997. Keruntuhan sektor perbankan itu kemudian membawa kehancuran pada sektor-sektor industri yang selama ini ‘disusui’ oleh dana-dana bank dalam kelompok usaha tersebut. Di sinilah ‘krisis moneter’ telah berubah menjadi ‘krisis ekonomi’ dan kemudian berkembang menjadi krisis sosial-politik yang multidimensional.

Krisis multidimensi itulah yang masih kita rasakan akibatnya sampai saat ini. Karena itu, pandangan yang mengatakan bahwa ‘saat ini jaman susah dan masa Soeharto lebih baik’ adalah pendapat yang keliru dan ahistoris. Hampir seluruh, kalau tak mau dikatakan semua, kesusahan yang kita rasakan sekarang ini adalah akibat dari kesalahan pembangunan ekonomi yang terjadi pada masa Soeharto.

Redupnya sektor industri saat ini tak dapat dilepaskan dari kerapuhan fondasi yang dibangun pada masa industrialisasi di era Soeharto. “Penjajahan” sumber-sumber daya alam nasional saat ini juga dihasilkan oleh kebijakan ekonomi di awal Orde Baru. Sektor perbankan yang loyo juga masih merupakan akibat dari kehancuran sektor tersebut seperti dijelaskan di atas. Masih banyak lagi permasalahan ekonomi saat ini yang bila ditelusuri justru berawal dari kesalahan kebijakan pembangunan Orde Baru.

Akan tetapi, bukan berarti bahwa rejim saat ini dapat dilepaskan dari tanggung jawab. Kesalahan terbesar pemerintahan paska-Soeharto adalah ketidakmampuan untuk memutus mata rantai sistem dan kebijakannya dengan masa lalu. Pemutusan mata rantai itulah yang menyebabkan pemerintahan saat ini terus menerus gagal
dan turut pula bertanggung jawab bersama Soeharto atas kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh rakyat saat ini.

Pada awal orde baru, stabilisasi ekonomi dan stabilisasi politik menjadi prioritas utama. Program pemerintah berorientasi pada usaha pengendalian inflasi, penyelamatan keuangan negara dan pengamanan kebutuhan pokok rakyat. Pengendalian inflasi mutlak dibutuhkan, karena pada awal 1966 tingkat inflasi kurang lebih 650 % per tahun.
Setelah melihat pengalaman masa lalu, dimana dalam sistem ekonomi liberal ternyata pengusaha pribumi kalah bersaing dengan pengusaha nonpribumi dan sistem etatisme tidak memperbaiki keadaan, maka dipilihlah sistem ekonomi campuran dalam kerangka sistem ekonomi demokrasi pancasila. Ini merupakan praktek dari salahsatu teori Keynes tentang campur tangan pemerintah dalam perekonomian secara terbatas. Jadi, dalam kondisi-kondisi dan masalah-masalah tertentu, pasar tidak dibiarkan menentukan sendiri. Misalnya dalam penentuan UMR dan perluasan kesempatan kerja. Ini adalah awal era Keynes di Indonesia. Kebijakan-kebijakan pemerintah mulai berkiblat pada teori-teori Keynesian.
Kebijakan ekonominya diarahkan pada pembangunan di segala bidang, tercermin dalam 8 jalur pemerataan : kebutuhan pokok, pendidikan dan kesehatan, pembagian pendapatan, kesempatan kerja, kesempatan berusaha, partisipasi wanita dan generasi muda, penyebaran pembangunan, dan peradilan. Semua itu dilakukan dengan pelaksanaan pola umum pembangunan jangka panjang (25-30 tahun) secara periodik lima tahunan yang disebut Pelita (Pembangunan lima tahun).
Hasilnya, pada tahun 1984 Indonesia berhasil swasembada beras, penurunan angka kemiskinan, perbaikan indikator kesejahteraan rakyat seperti angka partisipasi pendidikan dan penurunan angka kematian bayi, dan industrialisasi yang meningkat pesat. Pemerintah juga berhasil menggalakkan preventive checks untuk menekan jumlah kelahiran lewat KB dan pengaturan usia minimum orang yang akan menikah.
Namun dampak negatifnya adalah kerusakan serta pencemaran lingkungan hidup dan sumber-sumber daya alam, perbedaan ekonomi antar daerah, antar golongan pekerjaan dan antar kelompok dalam masyarakat terasa semakin tajam, serta penumpukan utang luar negeri. Disamping itu, pembangunan menimbulkan konglomerasi dan bisnis yang sarat korupsi, kolusi dan nepotisme. Pembangunan hanya mengutamakan pertumbuhan ekonomi tanpa diimbangi kehidupan politik, ekonomi, dan sosial yang adil. Sehingga meskipun berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi, tapi secara fundamental pembangunan nasional sangat rapuh. Akibatnya, ketika terjadi krisis yang merupakan imbas dari ekonomi global, Indonesia merasakan dampak yang paling buruk. Harga-harga meningkat secara drastis, nilai tukar rupiah melemah dengan cepat, dan menimbulkan berbagai kekacauan di segala bidang, terutama ekonomi.



PEREKONOMIAN ERA ORDE REFORMASI
BJ. HABIBIE
Sekalipun umur kabinet reformasi pimpinan B.J. Habibie belum berumur 2 minggu, IMF telah kembali berunding dengan pemerintah RI. Masih segar dalam ingatan kita bahwa kenaikan harga BBM dan Listrik tanggal 4 Mei 1998 yang menimbulkan kemarahan rakyat, adalah salah satu dari 50 persyaratan dari program IMF. Disatu pihak Indonesia membutuhkan IMF karena kebutuhan akan devisa yang semakin mendesak dan untuk menimbulkan kepercayaan pemodal asing, tapi dilain fihak persyaratan dari IMF malah menyebabkan kesengsaraan rakyat. Dengan kondisi politik yang masih belum mendukung iklim investasi, IMF akan merasa enggan untuk bekerja sama secara optimal dengan pemerintahan B.J. Habibie.
Selain itu indikator-indikator ekonomi Indonesia menurut Biro Pusat Statistik memperlihatkan kondisi ekonomi yang semakin buruk saja. GNP 1998 akan turun hingga 10 persen dibanding tahun sebelumnya, tingkat pengangguran mencapai sekitar 20 juta, inflasi mencapai 80%, cadangan devisa makin menipis mendekati titik kritis dan hutang LN RI yang sudah sedemikian banyak bahkan sudah jauh melampaui GNP.
Sekalipun presiden B.J. Habibie telah melakukan usaha-usaha reformasi, tetapi nampak jelas bahwa Kabinet Reformasi B.J. Habibie mendapat tekanan baik dari dalam maupun dari luar kabinet oleh berbagai pihak dengan kepentingan-kepentingan yang berbeda. Arah dan sasaran reformasi ala B.J. Habibie hingga kini belum jelas. Setiap reform dari B.J. Habibie kebanyakan hasil lobby dari orang-orang yang berada di sekitarnya, dilain pihak reform tsb. harus mendapat restu Pangab yang visinya tentang Indonesia masa depan tidak banyak diketahui orang. Transparansi proses pembuatan keputusan politik belum kunjung tiba. Dengan demikian kabinet yang tidak stabil ini tidak akan bisa mengatasi krisis ekonomi yang sangat akut ini. Sekalipun IMF secara penuh membantu kabinet reformasi ini, krisis ekonomi dan politik tidak akan teratasi karena pemerintahan ini belum dapat legitimasi rakyat, mahasiswa dan beberapa kalangan ABRI.
Dilemanya adalah disatu pihak reform politik harus dilaksanakan tetapi memakan waktu yang relatif lama, dilain fihak rakyat sudah tidak tahan dengan situasi ekonomi yang semakin parah. Sementara itu banyak tokoh-tokoh masyarakat yang kasak kusuk disekitar B.J. Habibie untuk merealisir kepentingan-kepentingan pribadi mereka sehingga ada berbagai versi reformasi yang menjadikan arah reformasi semakin kompleks dan tidak jelas.
Kegiatan ekonomi di Indonesia akan menuju arah perbaikan jika suatu lembaga pengadilan berhasil melucuti Suharto's Cronies dan memaksa mereka untuk mempertanggung jawabkan praktek-praktek KKN mereka selama masa orde baru.
Untuk itu diperlukan organisasi-organisasi masyarakat yang kuat hingga masyarakat dapat memaksa Suharto's Cronies untuk bertanggung jawab atas praktek-praktek kriminil mereka; dan ikut dalam proses membangun sistim pemerintahan yang menguntungkan rakyat. "Bring the state back to the society!"
Pemerintahan presiden BJ.Habibie yang mengawali masa reformasi belum melakukan manuver-manuver yang cukup tajam dalam bidang ekonomi. Kebijakan-kebijakannya diutamakan untuk mengendalikan stabilitas politik.


ABDURRAHMAN WAHID
Pada masa kepemimpinan presiden Abdurrahman Wahid pun, belum ada tindakan yang cukup berarti untuk menyelamatkan negara dari keterpurukan. Padahal, ada berbagai persoalan ekonomi yang diwariskan orde baru harus dihadapi, antara lain masalah KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme), pemulihan ekonomi, kinerja BUMN, pengendalian inflasi, dan mempertahankan kurs rupiah. Malah presiden terlibat skandal Bruneigate yang menjatuhkan kredibilitasnya di mata masyarakat. Akibatnya, kedudukannya digantikan oleh presiden Megawati.
a) Kurs rupiah.
Ketika Gus Dur naik, kurs sedikit di bawah Rp.7.000 dan sejak pertengahan tahun 2000 secara perlahan naik terus sampai sekitar Rp.9.500 sekarang ini. Kenaikan ini oleh sementara pihak dianggap sebagai ketidak mampuan Gus Dur mengendalikan moneter Indonesia, dan tidak pernah mau perduli dengan fakta yang sesungguhnya yang mendorong kenaikan kurs tersebut, yang tidak lepas dari besarnya hutang luar negeri yang jatuh tempo dan harus dibayar pada tahun 2000. Kenaikan kurs ini juga didorong oleh sentimen negatif pelaku pasar uang, akibat dari situasi keamanan yang tidak menentu akibat ulah para pendongkel Gus Dur
dengan berbagai pesta pembakaran dan pesta bom di mana-mana. Meskipun demikian, harus dilihat bahwa fluktuasi kurs dalam era pemerintahan Gus Dur secara relatif jauh lebih stabil dibandingkan dengan era
pemerintahan Habibie. Kurs yang naik turun tak menentu, akan membuat semua perencanaan business kacau sehingga pelaku business akan lebih senang menyimpan uangnya di bank daripada melakukan usahanya sehingga output produksi dalam negeri terus menurun.
b) Inflasi.
Dalam era pemerintahan Gus Dur, harga beras dan kebutuhan pokok lainnya tidak membuat masyarakat harus berebutan. Distribusi sembako dikembalikan kepada distributor lama yang terbukti lebih efektif daripada distributor dadakan yang kurang pengalaman dan sarat dengan manipulasi. Minyak goreng meskipun masih tetap licin tidak laku lagi untuk komoditi politik kampanye. Karena output produksi mulai meningkat, harga jual barang dan jasa tidak melonjak-lonjak lagi setiap hari. Perekonomian sudah mulai bergairah kembali, sehingga kesempatan kerja menjadi lebih terbuka atau minimal pengangguran tidak bertambah. Dalam kondisi ekonomi yang serba tidak menentu, keberhasilan untuk menahan inflasi dalam tingkat yang sedang (tidak terlalu tinggi), dapat dianggap suatu prestasi tersendiri. Bandingkan dengan harga yang hampir setiap minggu berubah terus ketika era Habibie.
c) Output produksi.
Pada era pemerintahan Gus Dur, karena kurs dan inflasi berada dalam rentang yang relatif tidak terlalu bergejolak, para pelaku business sudah mulai berani membuat perencanaan usahanya sehingga out produksi mulai meningkat. Walaupun masih relatif kecil, peningkatan ini besar artinya dalam Neraca Perdagangan Internasional Indonesia.
d) Cadangan devisa.
Karena inflasi lebih terkendali dan kurs lebih stabil, export mulai bergairah kembali sehingga sisi penerimaan dari Neraca Pembayaran Internasional Indonesia meningkat, sekaligus sisi pengeluarannya menjadi sedikit berkurang karena import secara relatif menurun akibat peningkatan output produksi. Dengan politik luar negeri Gus Dur, negara-negara kreditor bersedia melakukan restrukturisasi utang-utang luar negeri Indonesia sehingga mengurangi beban Neraca Pembayaran Internasional Indonesia setiap tahunnya. Secara perlahan cadangan devisa Indonesia mulai meningkat dari semula sekitar US $ 14 milyar menjadi sekitar US $ 19 milyar, dan ini sangat penting artinya untuk memupuk kembali kepercayaan luar negeri terhadap Indonesia.
d) Pengangguran lebih terkendali.
Secara umum perekonomian mulai bergerak kembali, sehingga lapangan kerja sedikit-sedikit mulai terbuka kembali dan pengangguran dapat terkendali. Walaupun jumlah pengangguran saat ini secara absolut masih cukup tinggi, namun jumlahnya relatif tidak bertambah. Ini berarti tambahan angkatan kerja baru dapat tersalurkan, kalau tidak maka jumlah pengangguran secara relatif maupun absolut akan bertambah terus.

MEGAWATI SOEKARNO PUTRI
Masa kepemimpinan Megawati Soekarnoputri
Masalah-masalah yang mendesak untuk dipecahkan adalah pemulihan ekonomi dan penegakan hukum. Kebijakan-kebijakan yang ditempuh untuk mengatasi persoalan-persoalan ekonomi antara lain :
  • Meminta penundaan pembayaran utang sebesar US$ 5,8 milyar pada pertemuan Paris Club ke-3 dan mengalokasikan pembayaran utang luar negeri sebesar Rp 116.3 triliun.
  • Kebijakan privatisasi BUMN. Privatisasi adalah menjual perusahaan negara di dalam periode krisis dengan tujuan melindungi perusahaan negara dari intervensi kekuatan-kekuatan politik dan mengurangi beban negara. Hasil penjualan itu berhasil menaikkan pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 4,1 %. Namun kebijakan ini memicu banyak kontroversi, karena BUMN yang diprivatisasi dijual ke perusahaan asing.
Di masa ini juga direalisasikan berdirinya KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), tetapi belum ada gebrakan konkrit dalam pemberantasan korupsi. Padahal keberadaan korupsi membuat banyak investor berpikir dua kali untuk menanamkan modal di Indonesia, dan mengganggu jalannya pembangunan nasional.

SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Masa Kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono
Kebijakan kontroversial pertama presiden Yudhoyono adalah mengurangi subsidi BBM, atau dengan kata lain menaikkan harga BBM. Kebijakan ini dilatar belakangi oleh naiknya harga minyak dunia. Anggaran subsidi BBM dialihkan ke subsidi sektor pendidikan dan kesehatan, serta bidang-bidang yang mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Kebijakan kontroversial pertama itu menimbulkan kebijakan kontroversial kedua, yakni Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi masyarakat miskin. Kebanyakan BLT tidak sampai ke tangan yang berhak, dan pembagiannya menimbulkan berbagai masalah sosial.
Kebijakan yang ditempuh untuk meningkatkan pendapatan perkapita adalah mengandalkan pembangunan infrastruktur massal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi serta mengundang investor asing dengan janji memperbaiki iklim investasi. Salah satunya adalah diadakannya Indonesian Infrastructure Summit pada bulan November 2006 lalu, yang mempertemukan para investor dengan kepala-kepala daerah.
Menurut Keynes, investasi merupakan faktor utama untuk menentukan kesempatan kerja. Mungkin ini mendasari kebijakan pemerintah yang selalu ditujukan untuk memberi kemudahan bagi investor, terutama investor asing, yang salahsatunya adalah revisi undang-undang ketenagakerjaan. Jika semakin banyak investasi asing di Indonesia, diharapkan jumlah kesempatan kerja juga akan bertambah.
Pada pertengahan bulan Oktober 2006 , Indonesia melunasi seluruh sisa utang pada IMF sebesar 3,2 miliar dolar AS. Dengan ini, maka diharapkan Indonesia tak lagi mengikuti agenda-agenda IMF dalam menentukan kebijakan dalam negri. Namun wacana untuk berhutang lagi pada luar negri kembali mencuat, setelah keluarnya laporan bahwa kesenjangan ekonomi antara penduduk kaya dan miskin menajam, dan jumlah penduduk miskin meningkat dari 35,10 jiwa di bulan Februari 2005 menjadi 39,05 juta jiwa pada bulan Maret 2006. Hal ini disebabkan karena beberapa hal, antara lain karena pengucuran kredit perbankan ke sector riil masih sangat kurang (perbankan lebih suka menyimpan dana di SBI), sehingga kinerja sector riil kurang dan berimbas pada turunnya investasi. Selain itu, birokrasi pemerintahan terlalu kental, sehingga menyebabkan kecilnya realisasi belanja Negara dan daya serap, karena inefisiensi pengelolaan anggaran. Jadi, di satu sisi pemerintah berupaya mengundang investor dari luar negri, tapi di lain pihak, kondisi dalam negri masih kurang kondusif.
Tingkat pertumbuhan ekonomi periode 2005-2007 yang dikelola pemerintahan SBY-JK relatif lebih baik dibanding pemerintahan selama era reformasi dan rata-rata pemerintahan Soeharto (1990-1997) yang pertumbuhan ekonominya sekitar 5%. Tetapi, dibanding kinerja Soeharto selama 32 tahun yang pertumbuhan ekonominya sekitar 7%, kinerja pertumbuhan ekonomi SBY-JK masih perlu peningkatan. Pertumbuhan ekonomi era Soeharto tertinggi terjadi pada tahun 1980 dengan angka 9,9%, seperti terlihat pada Tabel 1. Tentu relatif lebih sulit menilai kinerja Presiden BJ Habibie (21 Mei 1998-20 Oktober 1999) dan Presiden Abdurahman Wahid (20 Oktober 1999–23 Juli 2001), karena pemerintahannya relatif pendek, dimana fungsi perencanaan dan pelaksanaan APBN tidak sepenuhnya dilakukan mereka. Sedangkan pada pemerintahan Megawati Soekarnoputri (23 Juli 2001-20 Oktober 2004), yang lebih panjang dari dua Presiden sebelumnya, menunjukkan tren yang meningkat. Tren yang sama sebenarnya terjadi di semua pemerintahan setelah reformasi, dengan fluktuasi yang berbeda. Misalnya, Habibie mampu mengubah pertumbuhan ekonomi negatif menjadi positif secara signifikan dengan prestasi year on year 12,3%. Abdurrahman Wahid mencatat pertumbuhan ekonomi tertinggi yang pertama sejak krisis 1997. Megawati mampu menjaga pertumbuhan ekonomi secara stabil dan menunjukkan peningkatan terus menerus tiap tahunnya. SBY-JK mencatat pertumbuhan ekonomi yang mulai solid di atas 6% dan menjadi benchmark bagi perekonomian yang mulai stabil. Apakah ini berarti dengan memberi waktu yang cukup bagi suatu pemerintahan, misalnya minimal lima tahun, maka pertumbuhan ekonomi yang stabil dapat dicapai?

Pada tahun 2005, 2006 dan 2007, pertumbuhan ekonomi berturut-turut mencapai angka 5,6%, 5,5% dan 6,3%. Angka ini dibandingkan dengan target RPJMN untuk tahun 2005 (5,5%), 2006 (6,1%) dan 2007 (6,7%) terlihat tidak begitu menggembirakan. Bila target rata-rata lima tahun seperti tercantum pada RPJMN dari pemerintahan SBY-JK terhadap pertumbuhan ekonomi 6,6% per tahun, maka pertumbuhan ekonomi tahun 2008 dan 2009 haruslah diupayakan minimal rata-rata 7,8%. Bila dapat dicapai perkiraan pertumbuhan ekonomi tahun 2008 sebesar 6,8% (asumsi APBN 2008) dan tahun 2009 sebesar 7,6% (target RPJMN), maka rata-rata pertumbuhan ekonomi pemerintahan SBY-JK selama lima tahun menjadi 6,4%, angka yang mendekati target 6,6%. Para ekonom tampaknya sepakat bahwa pertumbuhan ekonomi minimal di atas 6% saja yang dapat dijadikan barometer Indonesia sudah mampu melihat the light at the end of dark tunnel,7 keluar dari krisis ekonomi yang berkepanjangan.

Kilas balik tahun pertama, pemerintahan SBY-JK menghadapi gejolak harga minyak dunia. Kebijakan menaikkan harga BBM 1 Oktober 2005, dan sebelumnya Maret 2005, ternyata berimbas pada situasi perekonomian tahun-tahun berikutnya. Pemerintahan SBY-JK memang harus menaikkan harga BBM dalam menghadapi tekanan APBN yang makin berat karena lonjakan harga minyak dunia. Kenaikan harga BBM tersebut telah mendorong tingkat inflasi Oktober 2005 mencapai 8,7% (MoM) yang merupakan puncak tingkat inflasi bulanan selama tahun 2005 dan akhirnya ditutup dengan angka 17,1% per Desember 30, 2005 (YoY). Penyumbang inflasi terbesar adalah kenaikan biaya transportasi lebih 40% dan harga bahan makanan 18%. Core inflation pun naik menjadi 9,4%, yang menunjukkan kebijakan Bank Indonesia (BI) sebagai pemegang otoritas moneter menjadi tidak sepenuhnya efektif. Inflasi yang mencapai dua digit ini jauh melampaui angka target inflasi APBNP II tahun 2005 sebesar 8,6%. Inflasi sampai bulan Februari 2006 (YoY) masih amat tinggi 17,92%, bandingkan dengan Februari 2005 (YoY) 7,15% atau Februari 2004 (YoY) yang hanya 4,6%. Yang menarik, Gubernur BI memprediksi inflasi tahun 2005 sebesar 14%8 dan Menteri PPN/BAPPENAS lebih berani lagi menjanjikan inflasi 2005 tidak akan lebih 12%.9

Perbedaan prediksi inflasi, akibat kenaikan harga BBM, oleh pemegang otoritas moneter dan fiskal ini menimbulkan pertanyaan tentang pola koordinasi kebijakan, karena inflasi aktual pada tahun 2005 jauh di atas prediksi mereka. Kedua otoritas ini tidak siap menghadapi policy shock dan implikasinya pada prediksi perekonomian yang berubah. Mungkin saja masalahnya adalah institusional. Kemampuan lembaga melemah begitu menghadapi kebijakan mendadak, yang tercermin dalam ketidakakuratan pernyataan pemimpin lembaga itu, yang bila sering terjadi justru mengganggu akuntabilitas kelembagaan Negara yang dipercaya. Ketidakcermatan itu terlihat dari perbedaan cukup besar antara angka prediksi inflasi dan aktual inflasi, misalnya, terhadap prediksi BI bias 3,1%, prediksi Bappenas 5,1%, asumsi APBNP II 2005 8,5% dan bahkan terhadap target inflasi tahun 2005 RPJMN 2004-2009 mencapai 10,1%. Bias prediksi ini di samping menunjukkan kinerja koordinasi yang lemah juga mencerminkan kemampuan profesional yang memprihatinkan, yang karena itu harus mendapat perhatian untuk diperbaiki. Akuntabilitas perencanaan dan evaluasi kebijakan dipertanyakan.

Efek inflasi tahun 2005 cukup berpengaruh terhadap tingkat suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI), yang menjadi referensi suku bunga simpanan di dunia perbankan. Pada Agustus 2005, tingkat suku bunga SBI masih lebih tinggi (9,5%) dari tingkat inflasi (8,3%). Insentif untuk menabung di perbankan masih menarik. Tetapi di bulan Desember 2005, keadaan menjadi kontraproduktif karena suku bunga SBI (12,75%) jauh di bawah angka inflasi (17,1%). Jika keadaan ini kronis, gangguan berikutnya tentu mengarah kepada likuiditas perbankan. Sampai September 2006, angka inflasi masih cukup tinggi (14,5%), yang menunjukkan transmisi efek kenaikan harga BBM Oktober 2005 berlangsung hampir setahun. Tingkat inflasi Desember 2006 kemudian menurun menjadi 6,6% dan inflasi tahun 2007 stabil di angka 6,59%. Bila dibandingkan dengan target inflasi pada RPJMN 2004-2009 untuk tahun 2006 (5,5%) dan tahun 2007 (5%), inflasi aktual pada tahun 2006 dan 2007 masih belum menggembirakan. Begitu pula, melihat target inflasi pada APBN tahun 2008 sebesar 6% masih belum sesuai dengan target inflasi 5% yang tercantum pada RPJMN 2004-2009.

Menurut UU Nomor 3 Tahun 2004 tentang BI, Pasal 7 ayat 1, BI bertujuan mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah dan, ayat 2, untuk mencapai tujuan itu BI melaksanakan kebijakan moneter secara berkelanjutan, konsisten dan transparan serta harus mempertimbangkan kebijakan umum pemerintah di bidang perekonomian. Menurut UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Pasal 21, menyebut Pemerintah Pusat dan Bank Sentral berkoordinasi dalam penetapan dan pelaksanaan kebijakan fiskal dan moneter. Dalam konteks kasus inflasi tahun 2005, mekanisme koordinasi seperti diperintahkan oleh kedua undang-undang tampaknya harus menjadi perhatian serius di masa-masa datang.

Kinerja Perbankan
Kebijakan perbankan sesungguhnya memang bukan domain pemerintahan SBY-JK, tetapi perbankan yang sehat dan mampu menjalankan fungsi intermediasinya terkait dengan situasi perekonomian, yang dipengaruhi oleh kebijakan otoritas moneter dan fiskal. Kebijakan fiskal yang mempengaruhi fungsi perbankan berjalan dengan baik menjadi wilayah tanggungjawab SBY-JK. Ketika pada Juli 2005, BI mengenalkan kebijakan Inflation Targeting Framework (ITF), penetapan target inflasi dirumuskan bersama dengan Pemerintah. Dengan target inflasi itu, BI dan Pemerintah harus bekerja erat bersama untuk mencapainya. Bila target itu dipercaya pelaku ekonomi, investor/produsen dan konsumen, maka roda perekonomian akan bergerak sesuai rencana sehingga fungsi intermediasi perbankan bekerja secara optimal. Kepercayaan publik meningkat begitu target inflasi sesuai dengan ekspektasi inflasi. Sebutlah, misalnya, bila tingkat inflasi (aktual) berada di atas target, maka kebijakan BI selayaknya menaikkan tingkat suku bunga (SBI), sebaliknya bila inflasi berada di bawah target, suku bunga dapat segera diturunkan. Dengan pola ini, target inflasi adalah fokus kebijakan moneter (dan juga fiskal). Dengan kepercayaan target inflasi akan “pasti” tercapai, perilaku spekulatif pelaku ekonomi dapat ditekan seminimal mungkin dan perekonomian berkembang secara rasional. Semakin tidak akurat penetapan target inflasi, sama artinya dengan mengembangkan perilaku spekulatif di masyarakat. Karena itu, sikap profesional dalam penetapan target menjadi kebutuhan bersama dalam mengembangkan perekonomian yang sehat.

Namun, keberhasilan menjaga tingkat inflasi 6,6% dan menurunnya tingkat suku bunga SBI menjadi 9,75% pada Desember 2006 ternyata tidak berhubungan langsung dengan peningkatan investasi, apalagi pemerataannya. Berdasarkan Statististik Ekonomi Keuangan Bank Indonesia, per April 2007, suku bunga kredit konsumsi (rumah, motor, kartu kredit dan multiguna) justru naik dari 17,08% (Januari 2006) menjadi 17,38% (Maret 2007), sementara suku bunga deposito turun dari 12,01% (Januari 2006) menjadi 8,13% (Maret 2007). Diduga, jenis kredit konsumsi ini bersifat inelastis, naiknya suku bunga tidak menyebabkan permintaan atas kredit menurun. Data Bank Indonesia menunjukkan sampai Maret 2007 kredit konsumsi sebesar Rp231,26 naik 2,5% dibanding akhir tahun 2006. Sementara pada periode yg sama pertumbuhan kredit investasi hanya 0,9% dan modal kerja 0,4%. Walau suku bunga kredit investasi dan suku bunga kredit modal kerja turun tetapi pada level yang masih cukup tinggi yakni masih sebesar 14,53% dan 14,49% pada akhir triwulan I/2007. Sehingga total kredit triwulan I/2007 menjadi Rp 826T turun sebesar 0,8% (qtq). Bank Indonesia menyebut penurunan ini sebagai hal yang rutin karena diharapkan akan naik kembali pada triwulan berikutnya. Yang menarik, pada periode yang sama undisbursed loan (kredit yang sudah disetujui tapi belum ditarik) justru meningkat dengan total sekitar 21% dari pangsa kredit . Bank tampaknya justru lebih mendorong kredit konsumsi dibanding penyaluran kredit investasi maupun modal kerja. Target pertumbuhan kredit selama tahun 2006 sebesar 18% ternyata tidak tercapai karena penyaluran kredit hanya tumbuh 14,1%. Keadaan tahun 2007 relatif membaik karena dari target pertumbuhan kredit 22%, perbankan mampu menyalurkan sampai 24%. Gejala penurunan sempat terlihat pada LDR dari 64,7% (triwulan IV/2006) menjadi 64,4% (triwulan I/2007), tetapi kemudian naik lagi menjadi 69,8% pada November 2007. Keadaan perbankan yang membaik di tahun 2007 harus mampu terus di tingkat di tahun 2008 dan 2009, karena akan berhubungan langsung pada kegairahan perekonomian.

Peran perbankan bagi pertumbuhan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) memang harus terus ditingkatkan. Karena UMKM merupakan sektor ekonomi yang mampu mnyerap tenaga kerja banyak. Perbankan dalam kenyataannya masih terbelit dengan situasi kredit macet UMKM terutama pada bank-bank BUMN. Total kredit macet per 31 Desember 2005 mencapai Rp 11,9 triliun yang tersebar di 783,477 unit UMKM, dengan perincian di Bank Mandiri sebesar Rp 4,1 triliun, BRI Rp 4,7 triliun, BNI Rp 3 triliun, dan BTN Rp 158 milyar. Bila dihitung sampai 31 Desember 2006 nilainya bertambah menjadi Rp 17,4 triliun. Hampir separuh nilai utang itu telah diserahkan kepada pengelolaan Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) atau DJKN sehingga sisa kredit macet UMKM yang dikelola Bank BUMN harusnya menjadi lebih sederhana. Melalui PP 33/2006 yang dikeluarkan Pemerintah pada 6 Oktober 2006, Bank BUMN diberi kewenangan menyelesaikan kredit macet itu berpedoman pada UU 19/2003 tentang BUMN dan UU 40/2007 tentang Perseroan Terbatas. Sementara kredit macet yang telah diserahkan kepada DJKN atau PUPN diselesaikan sesuai UU 49/Prp/1960 tentang PUPN yang ditetapkan Presiden Soekarno 14 Desember 1960 dan berlaku sampai sekarang. Setelah setahun PP 33/2006 dikeluarkan progresnya tidak menggembirakan. Melihat itu, Wakil Presiden Jusuf Kalla berinisiatif tanggal 9 Oktober 2007 mengundang rapat koordinasi terbatas dengan beberapa menteri, Bank Indonesia, BPK, Kejaksaan dan Kepolisian serta Direktur Utama Bank Mandiri, BNI, BRI dan BTN. Kesepakatan rapat itu adalah agar kredit macet UMKM segera diselesaikan. Walaupun demikian, pimpinan bank-bank BUMN masih kuatir dianggap merugikan keuangan negara bila PP 33/2006 dilaksanakan. UU 31/1999 maupun Perubahannya UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memang mengancam hukuman paling lama 20 tahun bagi setiap orang melakukan perbuatan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Pasal 8 UU 49/Prp/1960 menyebut definisi piutang negara sangat jelas. Piutang negara adalah sejumlah uang yang wajib dibayar kepada negara atau Badan-badan yang baik secara langsung atau tidak langsung dikuasai oleh negara. Pasal 2 huruf g UU 17/2003 tentang Keuangan Negara juga menjelaskan keuangan negara meliputi kekayaan negara/daerah yang dikelola sendiri atau oleh pijhak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan negara yang dipisahkan pada perusahaan negara/daerah. Kekuatiran para bankir Pemerintah selayaknya dihentikan. Cara terbaik adalah segera mengubah UU 49/Prp/1960 khususnya tentang definisi piutang negara. Menunggu perubahan itu, penyelesaian konvensional tanpa pemotongan pokok piutang (hair cut) seperti penghapusan denda, bunga dan ongkos atas piutang UMKM dapat dilakukan. Bank-bank Pemerintah seharusnya meyakini, dengan selesainya kredit macet UMKM, arus bawah perekonomian akan kembali bergerak, usaha karya rakyat kecil sebagai komponen utama perekonomian bangsa akan kembali bergairah. Seharusnyalah demikian tugas utama bank-bank Pemerintah.

Koordinasi Pemerintah dan Bank Indonesia dalam rangka pertumbuhan kredit perbankan tampaknya harus dilakukan dengan lebih terencana apalagi mengingat pangsa pasar bank-bank Pemerintah masih cukup besar sekitar 33% (Bank Mandiri 13,42%, BRI 11,57% dan BNI 8,21%) yang diharapkan dapat menjadi pemimpin dalam penyaluran kredit apabila ada policy design dari Pemerintah. Paket kebijakan Pemerintah yang dikeluarkan Juni 2007 tentang Percepatan pertumbuhan sektor riil dan UMKM selayaknya dikoordinasikan dengan badan pengatur perbankan, yakni BI, dalam rangka meningkatkan investasi dan pertumbuhan ekonomi. Bekerja sendiri-sendiri antara otoritas fiskal dan moneter jelas bertentangan dengan Pasal 21 UU No 17/2003.

Per 31 Desember 2006, jumlah bank umum mencapai 130 dengan perincian 5 Bank Persero, 26 Bank Pembangunan Daerah, 68 Bank Umum Swasta Nasional, 17 Bank Campuran (sebelumnya 18 per Maret 2006), 11 Bank Asing dan 3 Bank Umum Syariah. Sementara Bank Perkreditan Rakyat (BPR) mencapai 2,016 yang terdiri dari 1,914 BPR Konvensional (turun dari 1983 per Maret 2006) dan 102 BPR Syariah (naik dari 94 per Maret 2006). Dari struktur perbankan yang ada sekarang ini, sekitar 75% dari total aset perbankan (per Maret 2006 berjumlah Rp 1,466 triliun) dikuasai oleh hanya 11 bank besar yang umumnya dikuasai oleh bank-bank Pemerintah. Konsolidasi perbankan sesuai target kebijakan Arsitektur Perbankan Indonesia (API) tentu menjadi tidak mudah bila tidak didorong dengan mekanisme “intervensi” tertentu, misalnya, dengan merger atau akuisisi. Pola intervensi regulasi seperti kriteria Bank Kinerja Baik (BKB), dengan modal inti di atas Rp 100 miliar dan CAR minimum 10%, dan Bank Jangkar (Anchor Bank), dengan CAR minimum 12%, ROA minimal 1,5%, ekspansi kredit riil minimal 22% pertahun, LDR minimal 50% NPL net maksimal 5%, perlu dipertanyakan dalam konteks kemungkinannya mencapai piramida API. Walaupun demikian, walau secara jangka panjang akan menguntungkan perekonomian nasional, dengan kondisi perbankan sekarang, tentu akan ada pihak-pihak yang diuntungkan dan dirugikan dengan regulasi API. Sampai saat ini Pemerintah tampaknya belum memiliki sikap yang solid dalam menghadapi kebijakan API yang telah diterapkan oleh BI. Sekali lagi, koordinasi otoritas fiskal dan moneter masih dipertanyakan dalam konteks intermediasi perbankan. Misalnya, dalam kebijakan apa yang disebut Single Present Ploicy (SPP) yang dikeluarkan BI dalam rangka mendukung API terlihat seperti tidak berkoordinasi dengan Pemerintah. Kebijakan itu berpengaruh pada kondisi bank-bank BUMN milik Pemerintah, yang sampai saat ini seperti mengalami disorientasi, khususnya dalam kaitan peranan bank-bank itu bagi pembangunan perekonomian.