Kontradiksi UU No. 49/Prp 1960 dengan PP No. 33 Tahun 2006 dan PMK No. 87 Tahun 2006 Tentang Penyelesaian Non Performing Loan (NPL) Bank-Bank BUMN.
Filed Under : by .......DEN MAZ NOERHIDAYAT.......
Friday, April 9, 2010
Latar Belakang
Pemerintah pada 16 Oktober 2006 melalui Departemen Keuangan telah mengumumkan peraturan pelaksanaan penyelesaian non performing loan (NPL)/ kredit bermasalah bank BUMN yang di-tuangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.87/PMK.07/ 2006 tentang Pengurusan Piutang Perusahaan Negara/Daerah. PMK ini merupakan kelanjutan dari penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) No.33 tahun 2006 sebagai pengganti PP No.14 tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah. Reaksi kalangan bank BUMN pun melebar hingga ke soal wewenang Departemen Keuangan dalam pengurusan piutang macet perusahaan negara/daerah yang dianggap out of date, karena didasari Undang-Undang Nomor 49 Prp/1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara, yang ditetapkan dalam keadaan darurat. Salah satu aturan pelaksanaannya, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 14/2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah, dianggap menghambat penyelesaian NPL bank-bank BUMN dan, karena itu, harus direvisi. Ide revisi yang diumumkan pada Juli 2006 sebagai bagian dari paket kebijakan ekonomi itu sempat mengundang pro-kontra (DPR, BPK, kejaksaan) karena dianggap menghambat upaya pemberantasan korupsi di lingkungan bank BUMN. Namun, setelah mendapat petuah atau fatwa dari Mahkamah Agung, pemerintah akhirnya merevisi PP Nomor 14/2005 dengan menerbitkan PP Nomor 33/2006 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 87/PMK07/2006 untuk mencabut seluruh aturan penghapusan piutang macet BUMN yang merujuk ke UU Nomor 49 Prp/1960. Dengan aturan yang baru itu, penghapusan kredit macet BUMN dipisahkan dari pengurusan piutang negara dan selanjutnya dilakukan sendiri oleh masing-masing BUMN. Seperti disebut dalam press release Humas Departemen Keuangan (16 Oktober 2006), revisi itu dimaksudkan untuk menyamakan level of playing field antara bank BUMN dan bank swasta.
Permasalahan
Adanya kontradiksi antara UU No. 49/Prp 1960 dengan PP No. 33 Tahun 2006 dan PMK No. 87 Tahun 2006.
Pembahasan
Menyelesaikan kredit macet di bank pemerintah tak ubahnya mengurai benang kusut. Berbelit-belit dan cenderung menyebalkan. Tengok saja upaya para bankir pelat merah yang berniat melakukan restrukturisasi kredit macet. Keluarnya PP No. 33/2006 disambut dengan euforia oleh bank-bank BUMN. Beberapa bank BUMN, bahkan langsung memasukkan hair cut kredit macet yang dimilikinya menjadi agenda Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Namun, seperti yang penulis prediksikan, euforia ini akhirnya tidak berlangsung lama. Bankir-bankir bank BUMN akhirnya harus kembali kepada mekanisme lama terkait dengan penyelesaian kredit macetnya. Penyebabnya, aparat hukum di lapangan melihat bahwa landasan hukum yang digunakan sebagai acuan untuk melakukan hair cut kredit macet melalui mekanisme RUPS lemah karena didasarkan pada PP No. 33/2006. Sementara itu, UU No. 49 Prp/1960, yang kedudukannya lebih tinggi dibanding PP, masih tetap berlaku karena fatwa MA memang tidak menggugurkan berlakunya UU No. 49 Prp/1960. Implikasinya, sesuai mekanisme yang berlaku dalam UU No. 49 Prp/1960, jika penyelesaian kredit macet tidak dapat dilakukan oleh bank BUMN dan BPD terkait, maka kredit macet tersebut diserahkan kepada Departemen Keuangan (dan diperlakukan sebagai “piutang negara”) untuk proses penyelesaian lebih lanjut. Hasil penagihan piutang BUMN/BUMD oleh Departemen Keuangan dikembalikan kepada BUMN/BUMD bersangkutan. Proses penyelesesaian melalui Departemen Keuangan inilah yang sesungguhnya tidak diinginkan oleh bank BUMN dan BPD, karena pasti akan membutuhkan waktu panjang dan kompleks.
Inti dari PP Nomor 33/2006 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 87/PMK07/2006 adalah penegasan bahwa kini bank BUMN memiliki wewenang untuk menyelesaikan kredit bermasalah secara lebih luwes, seperti layaknya bank swasta, dengan kewenangan untuk memberikan keringanan kepada debitor bermasalah. Dengan PP No.33 dan PMK No.87 Kini kewenangan tersebut telah dimiliki bank BUMN dan percepatan penyelesaian NPL bank BUMN tentunya akan segera menjadi kenyataan. Pemerintah telah pula menyampaikan bahwa untuk menjamin asas governance dalam pelaksanaan PP No 33 dan PMK No 87 akan dibentuk Oversight Committee (OC) yang tugas utamanya adalah mengawasi agar penyelesaian NPL benar-benar dilaksanakan sesusai tata kelola yang baik. Tentunya keberadaan OC ini akan semakin memperkuat upaya penyelesaian NPL di bank BUMN dan kembali menjauhkan adanya moral hazard. Dari uraian di atas, terlihat bahwa muara kemelut hair cut kredit macet bank BUMN dan BPD adalah bersumber dari kontradiksi antara UU No. 49/Prp 1960 dengan PP No. 33 Tahun 2006 dan PMK No. 87 Tahun 2006. Penyelesaian kredit macet ini, jelas tidak akan pernah tuntas bila kontradiksi ini tidak diselesaikan.
Rekomendasi
1. Pengelolaan piutang bank BUMN harus bersifat konservatif untuk mencegah praktek Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).
Kasus-kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia dan kinerja bank pasien Badan Penyehatan Perbankan Nasional lebih dari cukup sebagai pelajaran pahit mengenai pengelolaan NPL oleh bank-bank swasta yang tentu saja tidak layak dijadikan model untuk bank BUMN. Model yang pas untuk bank BUMN adalah bank yang konservatif mengelola piutang; yang tidak menyuap debitor dengan haircut karena tidak tertekan moral hazard; yang menghajar debitor nakal dengan debt collector sangar atau jalur hukum; dan yang tidak pernah menghapus NPL tanpa persetujuan dan kata putus dari pemilik bank. Bank swasta seperti ini adalah pelaku sejati substansi UU Nomor 49/Prp/1960. Bank seperti itu masih ada di Indonesia. Buktinya, pengadilan selalu disibukkan dengan sengketa perdata atau pidana kredit macet. Mereka sadar penghapusan NPL menghilangkan potensi pemulihan kerugian akibat pembebanan biaya piutang tak tertagih (bad debt expenses). Mereka tidak memoles kinerja bank secara window dressing karena itu adalah produk management by hypocrisy. Sekiranya itu model bank swasta yang hendak diadopsi oleh bank BUMN, yang seharusnya direvisi bukan PP Nomor 14/2005, melainkan UU Nomor 49 Prp/1960, yang perlu disempurnakan agar lebih efektif mencegah korupsi pada bank-bank BUMN. Sekurang-kurangnya ada empat alasan untuk itu, meliputi:
a). berdasarkan UU Nomor 28/1999 tentang penyelenggara negara yang bersih dan bebas dari korupsi-kolusi-nepotisme (pasal 2 angka 7 dan penjelasannya), pejabat struktural dan komisaris bank BUMN masuk kategori penyelenggara negara yang memiliki fungsi strategis dengan tugas dan wewenang yang rawan praktek korupsi, kolusi, nepotisme.
b). pokok kredit atau piutang adalah aset bank. Sedangkan hasilnya berupa bunga adalah pendapatan. Namun, jika piutang menjadi macet, menyimpang dari perjanjian, pokok dan bunga yang seharusnya menjadi aset dan pendapatan terpaksa dibebankan menjadi biaya. Dari sisi pandang ekonomi-akuntansi, NPL bank BUMN adalah kejadian yang pasti telah menimbulkan kerugian keuangan negara walaupun belum tentu NPL-nya berakar praktek korupsi-kolusi-nepotisme.
c). pengurusan piutang adalah operasi normal bank sehari-hari. Namun, ketika piutang menjelma jadi NPL, yang berarti melanggar loan agreement, dari sisi pandang good corporate governance, penghapusan NPL bukan lagi urusan internal. Berdasarkan UU Nomor 49 Prp/1960--hingga saat ini belum dicabut--penghapusan NPL bank BUMN adalah urusan pemerintah (PUPN).
d). berdasarkan UU Nomor 31/1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, UU Nomor 17/2003 tentang keuangan negara, UU Nomor 19/2003 tentang BUMN, UU Nomor 1/2004 tentang perbendaharaan negara, dan UU Nomor 15/2004 tentang pemeriksaan pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara, jelas dan tegas bahwa aset-piutang BUMN masuk scope keuangan negara.
2. Mengamandemen atau merevisi UU Nomor 49/1960 dengan UU Piutang Negara yang lebih baru.
Bank badan usaha milik negara diberi peluang merestrukturisasi kredit macet dari debitor usaha mikro, kecil, dan menengah. Pemerintah dan Panitia Anggaran DPR memutuskan kebijakan itu berlaku pada 2010 dan menjadi satu pasal khusus dalam UU APBN 2010. bank-bank BUMN tidak bisa dengan mudah melakukan restrukturisasi utang itu tanpa melanggar peraturan karena dana untuk pengucuran kredit itu terkait dengan keuangan negara. dalam kondisi normal, bank swasta akan mendatangi debitor yang utangnya macet, melihat kondisi bisnis dan keuangan perusahaan debitor. Jika bisnisnya masih bisa diselamatkan, bank bisa memberi keringanan agar pengusaha dapat melanjutkan pengembangan bisnisnya. ”Kedua belah pihak (bank swasta dan debitornya) tujuannya sama, mendorong agar bisnis terus berjalan dan kredit dapat dibayar. Di bank BUMN ini tidak bisa. Ada hambatan peraturan pemerintah yang terbit sebelum undang-undang keuangan negara disahkan, Berbeda dengan bank BUMN, yakni Bank Mandiri, BRI, dan BNI, bank swasta diperkenankan menghapus tagih piutang yang sudah tidak bisa ditagih sehingga neracanya menjadi lebih ringan. Hal itu dimungkinkan karena bank swasta tidak butuh pencadangan dana yang sama besarnya dengan nilai piutang tak tertagih itu. Padahal, selama pencadangan tidak dihapus, bank tidak bisa menggunakan dana dalam pencadangan untuk kebutuhan lain, termasuk untuk investasi dan memperkuat kredit. Perbedaan ketentuan bagi bank BUMN itu tercantum dalam Pasal 8 UU Nomor 49 Tahun 1960 tentang Piutang Negara, yaitu penghapusan tagih atas piutang bisa dilakukan pada semua perusahaan kecuali bank BUMN. Aturan yang ditandatangani Presiden Soekarno itu dinilai sudah tidak relevan dengan kondisi industri bank BUMN saat ini.
3. Perlunya konsensus nasional dan koordinasi yang rapi antar lembaga negara agar tercapai kesepakatan untuk penyelesaian NPL di bank BUMN.
Sudah waktunya terbentuk satu konsensus nasional dan koordinasi yang rapi antar lembaga eksekutif, legislatif, maupun yudikatif sehingga salah satu constraint dalam perbankan BUMN, yaitu NPL, dapat segera diselesaikan. Semangat ini membutuhkan kearifan dan kerendahan hati dari masing-masing lembaga tersebut dan bukan sekadar mempertahankan argumen yang pada gilirannya akan menjadi polemik yang berlarut-larut dan menyebabkan semakin tidak terselesaikannya permasalahan utama, yaitu NPL yang tinggi di bank BUMN. Kesadaran bahwa kunci dari keberhasilan konsensus nasional pun tidak dapat dilepaskan dari pemahaman bahwa semua kembali kepada the man behind the gun atau manajemen di bank BUMN.
4. Manajemen bank BUMN harus memiliki kewenangan terukur dan diberikan fleksibilitas.
Manajemen bank BUMN seharusnya memiliki kewenangan yang terukur dan diberikan fleksibilitas untuk lebih menitikberatkan pada aspek komersial bisnis sehingga mampu bersaing dengan bank-bank swasta atau asing (khususnya dalam konteks penyelesaian NPL dan pengembangan bisnis).
5. Adanya sistem pengawasan yang melekat pada bank BUMN.
Sistem pengawasan melekat (built in control), maksudnya adalah adanya komisaris yang profesional, berintegritas tinggi dengan organisasi internal audit dan kepatuhan yang tinggi serta adanya pengawasan eksternal (auditor independen dan BPK) yang simultan dan berkelanjutan.
6. Adanya kesamaan pemahaman dan pandangan mengenai PP Nomor 33/2006 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 87/PMK07/2006.
Bank BUMN mengharapkan adanya kesamaan pandang antara aparat hukum dan pengawas mengenai PP No.33/2006 tentang Tata Cara Penyelesaian Piutang Negara sehingga menghilangkan ketakutan direksi bank BUMN dalam merestrukturisasi kredit bermasalah (NPL). Masih adanya ketakutan direksi bank BUMN untuk merestrukturisasi kredit macet di banknya meskipun sudah ada jaminan dari PP itu dan Keputusan Menkeu PMK No 87/2006 tentang Pengurusan Piutang Perusahaan Negara/Daerah yang pada dasarnya memberi kewenangan pada bank BUMN untuk menangani NPL sesuai mekanisme korporasi. Bank BUMN sudah menyiapkan program untuk melakukan restrukturisasi NPLnya, namun belum dilakukan karena masih dibayangi ketakutan jika restrukturisasi yang dilakukan dianggap melanggar hukum oleh Kejaksaan, Kepolisian atau BPK.
7. Memperjelas status Oversight Committee (OC).
Pemerintah harus segera memperjelas status tim monitoring restrukturisasi dan penyelesaian kredit bermasalah bank BUMN (oversight committee) ketidakjelasan status tersebut akan membuat ketidakpastian di kalangan bank BUMN dalam keberlanjutan penyelesaian kredit bermasalahnya. Di samping itu ketidakpastian itu, lanjut dia, akan memberikan tekanan besar bagi kinerja bank-bank BUMN. Tim monitoring tersebut antara lain bertugas melakukan kajian atas peraturan perundangan terkait penyelesaian kredit bermasalah dan melakukan koordinasi dengan Bank Indonesia (BI) untuk memastikan kecukupan penerapan manajeman resiko dan prinsip tata kelola yang baik atau “good corporate governance” pada penyelesaian kredit bermasalah.
8. Perlunya persiapan internal bank BUMN.
Dengan terbitnya PP Nomor 33/2006 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 87/PMK07/2006 tersebut, bank-bank BUMN akan memiliki kepastian hukum dalam melakukan akselerasi penyelesaian NPL sesuai dengan koridor hukum korporasi, sehingga akan mampu menyelesaikan piutang bermasalahnya dengan lebih baik serta memiliki level playing field sebagaimana dimiliki oleh bank-bank swasta lainnya. Bank BUMN harus melaksanakan berbagai persiapan internal untuk menjalankan kewenangan sesuai PP 33/2006 dan PMK 87/2006, diantaranya mempersiapkan kebijakan internal, governance model serta kerangka risk management, sehingga dalam pelaksanaan kewenangan nantinya tidak menimbulkan moral hazard yang dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
9. Bank BUMN dan BPD bersama-sama membawa masalah ini ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mendapatkan keputusan hukum terkait dengan kontradiksi antara UU No. 49 Prp/1960 versus PP Nomor 33/2006 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 87/PMK07/2006.
Penulis yakin bahwa dengan mengacu pada bukti-bukti hukum yang dimiliki bank BUMN dan BPD, MK akan menganulir klausul mengenai piutang negara yang terdapat pada UU No. 49 Prp/1960. Terlebih lagi, sesungguhnya sejak tahun 2005, dukungan pemerintah terhadap masalah ini juga sangat besar.