Penilaian dunia internasional terhadap kinerja pemberantasan korupsi di tahun 2009 lalu memang sedikit menggembirakan. Skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia mengalami kenaikan dari 2,6 pada tahun 2008 menjadi 2,8 pada tahun 2009. Namun harus diakui kenaikan itu jauh dari harapan masyarakat dan tidak signifikan untuk mendorong perubahan yang lebih besar agar Indonesia keluar dari kelompok negara-negara terkorup di dunia. Skor tahun 2009 akan sedikit memberi harapan jika dibandingan dengan skor tahun 2004, yakni 2.0. Begitu juga Governance Indicators untuk tahun 2009 yang dikeluarkan oleh Bank Dunia, khususnya dalam aspek pemberantasan korupsi (control of corruption) ada kecenderungan peningkatan sejak 2004. Namun pemerintah masih dianggap sangat lamban dalam penerapan prinsip transparansi penerimaan negara dari industri ekstraktif, yang mencapai 34 persen dari APBN (2010), dengan model pelaporan Extractive Industry Transparency Initiatives (EITI) untuk mendorong transparansi industri ekstraktif. Padahal Peraturan Presiden tentang pendapatan negara dan daerah yang diperoleh dari industri ekstraktif sangat mendesak diterbitkan agar Indonesia bisa diterima oleh dunia international yang sudah mengadopsi prinsip EITI. Selain itu dalam catatan ICW korupsi di sektor ekstraktif industri ini mencapai Rp 38.4 trilyun per tahun (Putut, 2009).
Sebab dan akibat korupsi ( Putra, 2009)
Sebab korupsi meliputi:
1. Gaji yang rendah, kurang sempurnanya peraturan perundang – undangan, administrasi yang lamban dan sebagainya.
2. Warisan pemerintah kolonial.
3. Sikap mental pegawai yang ingin cepat kaya dengan cara yang tidak halal, tidak ada kesadaran bernegara, tidak ada pengetahuan pada bidang pekerjaan yang dilakukan oleh pejabat pemerintah.
Maka, akibat dari tindak korupsi sebagai berikut :
1. Pemborosan sumber – sumber, modal yang lari, gangguan terhadap penanaman modal, terbuangnya keahlaian, bantuan yang lenyap.
2. Ketidakstabilan, revolusi sosial, pengambilan ahli kekusasaan oleh militer, menimbulkan ketimpangan sosial budaya.
3. Pengurangan kemampuan aparatur pemerintah, pengurangan kapasitas administrasi, hilangnya kewibawaan administrasi.
Upaya pencegahan (ex ante) korupsi dapat dilakukan, antara lain melalui (Pusat Kajian Administrasi Internasional, 2007):
1. Menumbuhkan kesadaran masyarakat (public awareness) mengenai dampak
2. destruktif dari korupsi, khususnya bagi pegawai negeri.
3. Pendidikan anti korupsi
4. Sosialisasi tindak pidana korupsi melalui media cetak & elektronik
5. Perbaikan remunerasi pegawai negeri
Adapun upaya penindakan (ex post facto) korupsi harus memberikan efek jera, baik secara hukum, maupun sosial. Selama ini pelaku korupsi, walaupun dapat dijerat dengan hukum dan dipidana penjara ataupun denda, namun tidak pernah mendapatkan sanksi sosial melalui (Pusat Kajian Administrasi Internasional, 2007):
1. Hukuman yang berat ditambah dengan denda yang jumlahnya signifikan.
2. Pengembalian hasil korupsi kepada negara.
3. Tidak menutup kemungkinan, penyidikan dilakukan kepada keluarga atau kerabat pelaku korupsi.
Pemerintah dan Dewan Perwaklian Rakyat Indonesia telah mengesahkan berbagai macam peraturan dan undang-undang tentang pemberantasan korupsi, antara lain:
1. Undang-Undang Republik Indonesia NOMOR 7 TAHUN 2006
2. Undang-Undang Republik Indonesia NOMOR 30 TAHUN 2002
3. PENJELASAN Undang-Undang Republik Indonesia NOMOR 30 TAHUN 2002
4. Undang-Undang Republik Indonesia NOMOR 31 TAHUN 1999
5. Undang-Undang Republik Indonesia NOMOR 20 TAHUN 2001
6. Undang-Undang Republik Indonesia NOMOR 28 TAHUN 1999
Indonesia juga telah meratifikasi kesepakatan internasional tentang korupsi yaitu United Nations Convention Against Corruption, 2003
Pemerintah dan Dewan Perwaklian Rakyat Indonesia juga telah sepakat mendirikan lembaga independen yang khusus menangani korupsi yaitu Komite Pemberantasan Korupsi (KPK). Sekalipun berbagai cara telah ditempuh oleh pemerintah untuk memberantas korupsi, tetapi masih banyak pula praktek korupsi di Indonesia. Justru yang terjadi sekarang adalah kecenderungan praktek korupsi secara terbuka dan tidak secara sembunyi-sembunyi.
Korupsi juga dilakukan oleh pelaku bisnis
Korupsi selalu bisa dilihat sebagai proses ekonomi, di mana ada penawaran (supply) dan permintaan (demand). Pejabat publik dan politisi, dua kelompok yang diukur dalam Indeks Persepsi korupsi (IPK), dalam kerangka korupsi berdiri di sisi permintaan. Mereka menerima suap, melakukan pemerasan (extortion), karena mereka memiliki wewenang dan kekuasaan birokratik. Di sisi lain, pelaku bisnis berdiri di sisi penawaran. Mereka yang menawarkan uang suap, pelicin, gratifikasi, dan sebagainya. Korupsi tidak akan terjadi tanpa adanya kehadiran dua sisi tersebut. Sayangnya seringkali dalam pembahasan tentang tingkat korupsi, pelaku bisnis sering kali lolos dari perhatian. Kritik dan hujatan selalu dialamatkan pada institusi publik, sedangkan pelaku bisnis lebih sering diposisikan atau memposisikan diri sebagai korban (Simanjuntak, 2009).
Sepatutnya dalam refleksi terhadap skor IPK yang didapat Indonesia, kita tidak hanya terus menudingkan jari pada institusi publik dan pemerintah sebagai biang kerok korupsi. Secara adil kita harus melihat bahwa pelaku bisnis memiliki andil yang besar membuat bangsa ini terpuruk dalam persoalan korupsi. Persoalan yang terjadi saat ini antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan Kepolisian dan Kejaksaan adalah contoh yang tepat menjelaskan hal ini.
Investasi di Indonesia
Musim penurunan investasi di Indonesia jelas terlihat dari menurunnya arus investasi sejak tahun 1997. Data BKPM menunjukkan, nilai Penanaman Modal Dalam Negeri pada tahun 1997 tercatat Rp 119 trilyun dengan jumlah proyek 723 unit. Data tahun 2003 terbukti tinggal Rp 50 trilyun dengan 196 proyek. Rekor investasi asing langsung yang masuk lewat Penanaman Modal Asing menunjukkan perbaikan: tahun 1997 nilainya sebesar USD 3,4 milyar dengan 331 unit proyek, pada tahun 2003 melonjak menjadi USD 5,1 milyar dengan jumlah proyek yang juga meningkat menjadi 493 unit. (Kuncoro,2007)
Arus investasi asing yang masuk ke Indonesia ternyata diikuti dengan arus keluar yang jauh lebih tinggi. Inilah yang biasa disebut sebagai net capital inflows yang negatif. Data neraca pembayaran Indonesia, terutama pos investasi asing langsung, mencatat angka negatif sejak 1998, yang dari tahun ke tahun semakin membesar. Baru pada sejak tahun 2005 net capital inflows mulai mencatat angka positif, yang berarti mulai turning point. Berbagai studi menunjukkan bahwa iklim investasi Indonesia lebih buruk dibanding Cina, Thailand, Vietnam dan negara-negara ASEAN lainnya. Iklim investasi dapat didefinisikan ‘sebagai semua kebijakan, kelembagaan, dan lingkungan, baik yang sedang berlangsung maupun yang diharapkan terjadi di masa mendatang, yang bisa mepengaruhi tingkat pengembalian dan resiko suatu investasi’. Banyak studi menemukan bahwa pelaksanaan otonomi daerah sejak tahun 2001 telah memperburuk iklim investasi di Indonesia. Masih rendahnya pelayanan publik, kurangnya kepastian hukum, dan berbagai Peraturan Daerah yang tidak “pro-bisnis” diidentifikasi sebagai bukti iklim bisnis yang tidak kondusif.
Pengalaman China menarik modal asing perlu kita kaji apakah menarik untuk dicoba. Di China, untuk perijinan cukup menghubungi Kantor Investasi Asing. Untuk investasi minimal sebesar US$30 juta, aplikasi investasi harus mendapat ijin dari pusat. Namun di bawah jumlah itu, cukup menghubungi Kantor Investasi Asing di daerah. Waktu persetujuan investasi asing maksimal 3 hari. Bila lebih dari 3 hari tidak ada pemberitahuan dari kantor ini, otomatis permohonan investasi dianggap diterima. Undang –Undang tentang Penanaman Modal nampaknya belum secara tegas mengatur pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah dalam perijinan dan pelayanan investasi seperti di China. Untuk itu, Undang-undang Penanaman Modal perlu dilengkapi dengan sejumlah Peraturan Pemerintah yang lebih rinci.
Indonesia: A Big Market
pasar Indonesia yang besar menjadi hal yang paling favorable bagi bisnis. Dengan populasi sebanyak 234 juta jiwa dan GDP per kapita $2,200 yang diperkirakan ke depan akan terus tumbuh, Indonesia merupakan pasar yang menarik. Ukuran pasar yang besar memungkinkan bisnis untuk mengeksploitasi economies of scale dalam produksi. Permasalahannya adalah, apakah Indonesia hanya menjadi target pasar ekspor negara lain, atau menjadi production base perusahaan lokal dan multinasional yang melayani pasar domestik sekaligus ekspor. (Purbasari, 2009)
Bila cost of doing business di Indonesia mahal, maka potential investors akan kehilangan insentif untuk melakukan produksi di Indonesia kecuali terdapat sesuatu yang spesifik dan tidak dapat dicari di lokasi lain. Investor mungkin lebih memilih untuk menempatkan produksinya di negara lain (Thailand atau Malaysia misalnya) dan mengekspor produknya ke Indonesia. Hal ini sangat mungkin terjadi, karena cost of doing business across borders disinyalir lebih rendah daripada within border. Selain itu perusahaan-perusahaan di Thailand atau Malaysia dapat memanfaatkan economies of scale dalam biaya transportasi dan logistik. Bila ini terjadi, tidak hanya Indonesia gagal untuk menarik potential investors, tetapi sekaligus membuat keuntungan dari existing companies di dalam negeri mengecil karena persaingan dari barang impor
Korupsi sebagai faktor penghambat investasi
Posisi Indonesia meningkat dalam rilis tahunan peringkat negara pemberantas korupsi terbaik oleh Biro Konsultan Risiko Politik dan Ekonomi (Political and Economic Risk Consultancy/PERC) yang bermarkas di Hongkong. Jika pada 2007, Indonesia mulai tergeser oleh Filipina dari peringkat negara terkorup, tahun ini posisi Indonesia semakin membaik. Dalam penilaian yang digambarkan dalam skala angka 1-10 untuk paling bersih sampai paling korup, PERC memberi skor Indonesia 7,98, lebih baik dari 2007 yang 8,03. Filipina yang meraih posisi terendah mendapat nilai 9, dan Singapura yang menjadi negara terbaik dalam pemberantasan korupsi mendapat nilai 1,13. Angka-angka tersebut diperoleh setelah PERC mengolah data hasil kuesioner yang disebarkan kepada 1.400 pengusaha asing di 13 negara-negara Asia terpilih. Mereka diminta memberikan pandangan atas korupsi di negara tempat mereka menanamkan modal. Bandingannya negara asal masing-masing. Dari tabel peringkat, Indonesia menempati urutan 10, sama dengan Tiongkok yang juga tanpa kompromi menghukum mati para terpidana korupsi. Meski lebih baik dari Filipina dan Thailand, Indonesia masih tertinggal dibanding Vietnam, Malaysia, dan Singapura. Dalam rilisnya, PERC menyebutkan Indonesia mencapai banyak kemajuan pemberantasan korupsi di bawah pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. (antikorupsi.org)
laporan PERC di atas, pada akhirnya memang sangat menyulitkan pertumbuhan investasi khususnya investasi asing ke Indonesia. Mengapa? Jawabnya: pertama, korupsi adalah faktor utama terjadinya ketidakpastian hukum. Padahal, faktor utama tinggi-rendahnya pertumbuhan investasi sangat ditentukan oleh faktor kepastian hukum di samping faktor stabilitas keamanan. Indikator utama kepastian hukum itu sendiri sangat ditentukan oleh tinggi rendahnya tingkat korupsi. Semakin tinggi tingkat korupsi di suatu negara maka semakin rendah pula tingkat investasi ke negara yang bersangkutan. Kedua, korupsi membuat para pengusaha asing menjadi ketakutan menanamkan investasinya di Indonesia. Harus disadari, para pengusaha asing telah terikat dengan kode etik (Code of Conduct) Kamar Dagang Internasional (International Chamber of Commerce) yang sejak Maret 1996 telah merekomendasikan kode etik kepada anggotanya untuk tidak melakukan korupsi dalam bisnis internasionalnya. (Widibyo, 2002)
I. KESIMPULAN
Korupsi yang masih terjadi di Indonesia dapat menghambat proses investasi yang akan di lakukan oleh investor baik dalam negeri Indonesia maupun investor dari luar negeri. Sehingga tindakan korupsi dapat mempengaruhi stabilitas ekonomi maupun kondisi perekonomian secara menyeluruh dari suatu negara tidak terkecuali di Indonesia. Pemerintah indonesia sekalipun telah berusaha keras dalam pencegahan maupun penindakan melalui penerbitan undang-undang, tetap saja korupsi merajalela. Pemerintah dan Dewan Perwakilan rakyat telah banyak mengesahkan UU tentang korupsi, bahkan membentuk lembaga independen yang khusus menangani korupsi yaitu Komite Pemberantasan Korupsi. Tetapi, tanpa dukungan dari seluruh masyarakat maka agenda pemerintah dalam memberantas korupsi akan sia-sia. Hal ini dapat dimaklumi karena di dalam sistem pemerintahan maupun sistem ekonomi Indonesia masih bersifat birokratis, yang sangat memungkinkan praktek korupsi tetap ada. Agar investasi dan pembangunan di Indonesia dapat berjalan sesuai tujuan pembangunan nasional maka pemberantasan, dan penindakan kasus-kasus korupsi harus segera dilaksanakan oleh seluruh elemen masyarakat Indonesia. Apabila korupsi dapat diberantas, maka investor baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri akan meningkatkan investasinya di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA:
Bank Indonesia., 2007. Survei Iklim Investasi. Kajian Ekonomi Regional Sulawesi Selatan. Makassar.
Denni Puspa Purbasari., 2009. Prospek Investasi 2010: Peluang di antara Perubahan dan ketidakpastian. Jakarta.
Frenky Simanjuntak., 2009. Pelaku Bisnis dan Indeks Persepsi Korupsi. Available www.ti.or.id
Komisi Pemberantasan Korupsi Kumpulan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi., Edisi Pertama. 2006
Mudrajad Kuncoro., 2007. Akhir Paceklik Investasi?. Fakultas ekonomi UGM. Yogyakarta.
Pusat Kajian Administrasi Internasional., 2007. Strategi Penanganan Korupsi di Negara-Negara Asia Pasifik. Jakarta
Putut Aryo Saputro., 2009. 100 Hari Kabinet Indonesia Bersatu II : Perhatian Pemberantasan Korupsi Melemah. Transparency International Indonesia. Jakarta.
Tri Martha Kusuma Putra., 2009. Korupsi di Indonesia. Jakarta.
Widibyo., 2002. Korupsi sebagai Penghambat Pertumbuhan Investasi. Jakarta.